Sabtu, 09 Maret 2013

Bittersweet


“ selamat malam, mas che ada? “ terlihat siluet seorang  perempuan yang tampak begitu familiar, aku sudah lama tidak pernah bertemu dengannya. Yah tidak pernah lagi tepatnya setelah kita putus. Aku terdiam terkejut sejenak “ iya masuk aja nad, ada apa, malam-malam gini datang ke kost? “. Aku segera membuatkan cokelat panas, karena kondisi suhu di luar begitu dingin dan hujan rintik kecil sedang bersemangat-semangatnya menetes. “ oh, gini mas che, aku ini tadi dari dinas malam di rumah sakit deket sini, kebetulan kalau pulang kejauhan, jadi aku mampir ke sini aja hehehe “. Wah gila, emang ada apa di pikrannya, sebelumnya di begitu membenci aku pasca putus, tapi sekarang dia bisa melempar tertawa kecil kepadaku. Nadia tahukah kamu sudah setahun lebih inni aku selalu gagal untuk move on, atau lebih tepatnya diriku tidak menginginkan untuk move on, karena semua pemberianmu saat kita masih memadu kasih terlalu berharga untuk ditinggalkan.
Malam menuju larut, kami mengobrolkan apa yang kami lakukan selama ini, kemudian kami semakin mendekat. Perasaan itu muncul lagi, kupu-kupu yang seharusnya sudah mati, tiba-tiba seperti di hidupkan kembali dan terbang menabraki dinding perutku. Nafas ini menjadi berat, dan aliran darah berdesir cepat. Berikutnya yang aku tahu, bibir kami sudah menyatu, dilanjutkan oleh tarian malam yang begitu syahdu. Temperatur tubuh kami sudah naik, dan kulihat nadia sudah menanggalkan jaket dan seragamnya, kemudian yang aku tahu dia pun sudah dalam fase yang disebut plain naked.  Dengan posisi favoritmu ketika kita berasyik masyuk di jaman indah itu, namun yang kali ini berbeda adalah keberanianmu untuk lebih jauh dengan menanggalkan seluruh pakaianmu. Semakin syahdu kami memadu kasih. Jiwaku sudah tidak ada di bumi lagi.
Namun tidak lama kami mendengar suara langkah kaki. Aku mengintip keluar kamar sejenak, ternyata ibu kost sedang melakukan sweeping, aku meminta nadia untuk segera mengenakan pakainnya dan bersembunyi. Aku memasukkan sandal nadia yang ada di luar kost, dan tentu saja itu yang membuat kamarku luput dari pengecekan.
Setelah Nadia selesai mengenakan pakaiannya, aku mencari sebuah buku antologi. Di buku antologi tersebut beberapa karya nadia terpajang bersama 35 penulis lain. “ Tunggu dulu nad, nanti kamu aku antar pulang, sebelumnya aku masih mencari coffee shop chronicle, di situ ada tulisanmu kan, yang someone like you… aku suka membacanya nad, aku sebenarnya ingin meminta tanda tanganmu untuk bukuku.. tapi di mana ya? “ “ nggak usah mas che, aku nggak ikut nulis kok? “ aku terhenayak “ha?” padahal jelas-jelas namanya tercantum disana dan aku juga sudah memata-matai beberapa akunnya, someone like you pernah di tulis di blognya, tapi kenapa dia tidak mau mengakuinya?
Kemudian kami berdua meninggalkan kamar, di ujung lorong kamar kost, sudah ada ibu kost dengan memasang wajah seram berteriak-teriak. Aku dan Nadia berlari tanpa aba-aba, meloncati portal dan menerobos warung kopi. Kemudian kami beristirahat sejenak di salah satu warung kopi di seberang jalan. “kamu nggak laper nad?”. “ nggak mas che, kita langsung cabut aja, udah malem banget ini, keburu dini hari”. Aku segera menghabiskan teh hangatku dan segera mengambil sepeda motor di kos. Disitu tentu saja masih dijaga, tapi aku segera menjelaskan, ah mungkin keberuntungan atau apa, ibu kost masih memberi kesempatan, tapi kalau lain kali terjadi lagi, aku langsung di polisikan.
Seperti biasa perjalanan kutempuh selama 90 menit, dari daerah suburban Surabaya menuju ke tengah pemukiman kota sidoarjo. Namun kali ini  ada yang tidak biasa. Lingkungan rumah Nadia menjadi tidak familiar. Kali ini aku disuruh melewati jalan kecil dengan semak hitam di sisi kiri dan kanan. Ujungnya adalah rumah besar yang sangat gelap dan mencekam, mungkin mansion  lebih tepatnya. Setelah melewati pagar luar, Nadia memintaku untuk terus berjalan di atas motor, bahkan diminta untuk menabarak pintu kaca depan rumah. *BRANG!!* aku menabrakkan motorku di pintu kaca mansion itu. Anehnya diikuti dengan pecahnya seluruh bagian depan mansion itu.
Waktu menunjukkan pukul setengah tiga malam. Aku menjauhkan kaos hitam penutup mataku. Mengucek-ngucek mata. “ah…. Mimpi yang indah… namun di satu sisi beitu pahit” aku terduduk diam begitu lama di atas kasurku.


[ mono - legend ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Galau

: " moving my f**ing ass right now hap hap hap " ~me

Blogroll

: " we were slave of modernization and machine civilization " ~me