Jumat, 27 Desember 2013

Abadi

Langkah kaki Srindit secepat kilat dan sehening angin. Para pengantar pesan Adipati Maesa terhenyak dan tersentak, mana mungkin ada manusia bias amemiliki ilmu kanuragan setinggi itu di tanah setinggil ini. dalam sekali hentak mereka terhempas oleh ilmu kanuragan Srindit yang luar biasa itu. "katakan pada Adipati Maesa kalau desa ini sudah dikuasai oleh Srindit, jangan harap kami mau membayar upeti lebih tinggi lagi". para pesuruh it tentu saja lari tunggang langgang.

sesampainya di bale joglo Adipati Maesa sudah menduga ini terjadi. kemudian ketiga pesuruh itu disuruhnya beristirahat di bale joglo itu. "adipati? jangan lakukan ini, berbahaya sekali Srindit itu" adipati  mesa diam dan tersenyum kecil melihat salah satu pesuruhnya itu berkeringat dingin setelah bertemu Srindit. "sudahlah tole aku tahu siapa yang aku hadapi"

di lereng gunung selogede itu angin bertiup lebih dingin dan lebih kencang dari biasanya, seorang resi merasa akan terjadi pertemuan dua kekuatan besar yang luar biasa. resi itu kemudian pergi mendelati lereng itu. dia melihat Srindit sudah berdiri tegak berdiam diri, di batas cakrawala terlihat pohon-pohon condong ke arah Srindit. 

sang resi bersembunyi diantara bebatuan, sembari melihat apa yang terjadi. tak lama gemuruh itu menjadi suara derap kaki. "sugeng rawuh Adipati Maesa" sambut Srindit dengan sinis. "aku tahu maksud tujuanmu kemari Srindit". lalu Adipati Maesa menyerang Srindit dengan kanuragan tertingginya, Srindit pun sama. sebuah ledakan besar terjadi. lalu sekelebat memori merasuki sang resi yang melihat cahaya itu. ternyata Adipati Maesa dan Srindit tak pernah bisa terpisah, sejak awal mula jagad ini ditemukan mereka selalu menemukan cara untuk bertemu dan bertarung. ada yang bilang mereka adalah musuh abadai, yang lain bilang mereka adalah kekasih. 

kemudian resi itu berajak menuju reruntuhan longsor lereng gunung itu, Srindit dan Adipati Maesa sudah lenyap. sang resi itu kemudian duduk bersila dan berdoa.



#FF2in1 nulisbuku "Dancing in the Rain, Women in seat 27a" - Mattias IA Eklundh

Senja Merona

“Kalem Boy!” teriakannya menggema di sepanjang gang sempit pinggiran kota surabaya. Boy yang diteriaki malah kegirangan meskipun pukulan bertubi-tubi menghujam punggungnya. Sepeda kumbang reot itu dikayuh tanpa jeda, terus berdecit hingga mereka berdua sampai pada rumah bercat putih yang begitu asri, berada sekitar dua blok dari pemukiman mereka, itu adalah rumah felly, salah satu teman sekelas Boy. Mereka berhenti di seberang jalan rumah itu, tepat berada di bawah pohon mangga besar, “Sebentar lagi ren, tunggu disini, jaga dulu sepedaku ya”. “Boy? kamu akhir-akhir ini sering  sekali ketemu felly, kamu naksir felly ya?”. “hehehe”. Boy tidak menjawab pertanyaan itu, hanya meringis sebentar kemudian melengos pergi. Dia sebenarnya tidak suka kalau Boy selalau berdekatan dengan felly. Bisa dikatakan cemburu itu ada dan bercokol di dalam dirinya, hanya saja dia terlalu sabar untuk mengakuinya.
“lama banget sih, kalian ngapain aja tadi di dalem? Terus aku Cuma kamu jadiin tukang parkir penitipan sepeda?”. Bersungut-sungut ia memandang Boy. “maaf ya ren, pulang yuk?”. Dia berdiam mematung belum ingin beranjak dari tenpatnya berdiri. “Boy tau nggak sih, aku kepanasan, terus aku liat kamu enak-enakan di dalem rumah sama felly” giliran Boy yang terdiam, dia enggan mengatakan apapun. “kalian berdua sebenernya ngapain sih? Ngapain juga ngajakin aku kalau kamu sebenernya mau menghabisakan waktu sama felly?”. “kamu mau pulang gak sih ren?” Boy mulai menaikkan nada bicaranya. “kalau gak mau pulang ya udah aku pulang sendiri” lanjut Boy. Lalu boy pun menaiki sepeda kumbangnya dan berlalu.
Dia pulang berjalan kaki sembari menahan sesak yang menghujam jantungnya saat itu. “seharusnya aku jujur sama boy. Tuh kan, dia akhirnya suka sama felly, aduh bodoh banget sih aku… padahal kita lebih sering bersama, apa dia nggak sadar kalo kita ini sebenernya saling melengkapi?”. Terus ia berjalan pelan sambil menundukkan kepala dan berbicara pada dirinya sendiri. “saat kamu Boy, berkeliling mengantarkan koran, aku kan selalu ada di belakangmu, aku yang ngelemparin koran-korannya ke rumah orang-orang… pas kamu lagi sakit boy, kan aku juga yang gantiin kamu nganterin koran… boy..”
Kemudian bayangan itu muncul, dari belakang Boy memeluknya, “selamat ulang tahun Rena, ini kado buat kamu…”. Sebuah perhiasan handcraft sudah berada di dua telapak boy. “aku buat ini diajarin felly”.

Senja itu terlihat merona di matanya.

entry #FF2in1 nulisbuku.com 

Rabu, 04 Desember 2013

Oblivion

Dingin, dia tak lagi berbicara padaku, tak lagi menyapaku. Sejenak ku melihat wajahnya yang damai itu, senyumnya menyiratkan sesuatu, hanya saja matanya tak tertuju padaku. "Naila,.... " bisikkan lirihku mungkin tak akan pernah terdengar olehnya. " Aku memang sangat mencintaimu, bahkan mungkin terlalu mencintaimu ". Di sisi gelap kamar Naila, aku berdiri terpaku. Di dadanya ada bekas tujuh tusukan. Di tangan kiriku, kugenggam erat pisau penuh darah.

" Dok, lakukan sekarang... ". Anestesi itu membuatku tenang dan sangat damai, bahkan aku sudah tak ingat. apa-apa lagi semenjak memasuki asilum ini, yang kuingat hanya nama yang kubaca di papan nama ranjangku " Aku Naila ".

Galau

: " moving my f**ing ass right now hap hap hap " ~me

Blogroll

: " we were slave of modernization and machine civilization " ~me