Jumat, 06 Januari 2012

Dara, Setahun Kemudian

Deras dan basah, di sebuah sore di kota yang aku tidak tahu namanya. Tiba - tiba saja aku berakhir bersama seorang gadis yang juga tak kukenal itu berdua di atas futon tipis di sebuah kamar yang hampir mirip dengan kamar kosku, hanya saja alas tidurnya berupa dua futon tipis, beberapa bantal dan satu guling yang bersih. Paling tidak kamar itu memiliki luas yang sama, sekitar tiga kali empat meter. Gadis yang tak kukenal namanya itu sedang merebahkan dirinya di belakangku, bergumam, aku sendiri tidak mendengar apa yang dia katakan, meskipun sesekali terdengar bahagia, terkadang aku juga tertawa renyah mendengarnya. Meskipun aku juga tidak mampu mengingat apa yang dia katakan, gadis itu cantik, menurutku, dengan pipi yang chubby, rambut hitam sebahunya diikat ponytail, dan bangs lempar kiri. Sesekali menurutku dia mengajakku bercanda... karena aku sendiri benar-benar tidak bisa mengingat apa yang dia katakan, pada saat itu mataku tertuju pada akun timeline twitter seseorang, aku membaca baris demi baris kalimat-kalimat yang tersusun dari pemikirannya dan komunikasinya dengan rekan-rekan sejawatnya. Dara Angeliaterra, nama pemilik akun jejaring sosial tersebut, aku pernah mengenalnya, dan menjadikannya kekasih, namun itu sudah kandas setahun lalu. Dia bilang aku belum dewasa, aku belum bisa menempatkan diri, belum bisa menghargai kehormatan seorang gadis, hingga setengah menit yang lalu, tweet itu masuk,
sebuah tweet yang menyatakan, ia ingin bertemu denganku, aku tahu meskipun tidak ada tanda mention diriku di tweet itu, karena dia ingin menemuiku di stasiun kecil itu, di tempat dimana kita sering transit setelah lelah aku mengantarkan Dara pulang, namun bukan rumah yang dituju, melainkan sebuah stasiun kecil. Kenapa di stasiun? Orang tua dara tidak pernah mengijinkan anaknya untuk berpacaran. Dara selalu berpura-pura bahwa dia menaiki kereta antar-kota itu dan turun di stasiun. Padahal sebenarnya akulah yang mengantar dia pulang, setiap pukul 7 petang dia selalu menemaniku makan malam, di sebuah rombong kaki lima depan stasiun yang menjajakan makanan khas jawa timur, tahu telor. Sekarang sudah tidak pernah lagi, karena Dara sudah lulus menempuh studinya di keperawatan, dan sebulan setelahnya hubungan kami berakhir.
Gadis yang tak kukenal namanya itu telah terlelap setelah berbicara ngalor-ngidul tidak karuan sepertinya dia lelah karena tak kugubris pembicaraannya. Aku bahkan tidak tahu siapa dirinya, kenapa bisa aku berakhir disini dengannya. Ah masa bodoh dengan hal itu, aku segera mengambil jaket abu-abuku yang tergantung di pojok ruangan itu, tanpa peduli hujan, aku melesatkan tujuanku di stasiun kecil kota itu. Sesampainya disana, pertamanya aku hanya melihat-lihat dan menggali lagi memori lamaku, ya, tempat ini masih sama, hanya saja ini masih terlalu sore, bapak penjual tahu telor itu belum terlihat, aku menelusuri tempat ini dengan kedua mataku, hingga aku tertuju pada sesosok yang begitu aku rindukan, Dara, dia terlihat berjalan memasuki stasiun itu, dan aku mengikutinya diam-diam dari belakang. Hingga beberapa meter kemudian aku berhenti. Dia terlihat menuju ke seseorang berseragam prajurit belanda pada masa kolonial, kemudian dia memapahnya, dan prajurit itu mampu berjalan sendiri, tanpa sengaja, pandangan kami bertemu. Entah kenapa aku malah membalikkan badanku dan beranjak meninggalkannya, aku berjalan pelan-pelan, hingga beberapa puluh langkah ke depan, kemudian aku mencoba menengok kebelakang, meskipun terlihat samar di tengah titik hujan yang deras, tapi aku tahu dia mengikutiku, aku melangkah lagi kali ini benar-benar kubuat pelan. Aku terperanjak dia memelukku dari belakang. Aku terdiam sejenak, dan memutar badanku, lalu memeluknya erat. Hujan itu menyamarkan namun juga merupakan simbolisasi tangisku, lebat, begitu juga air mata kerinduan yang mengalir di pipiku yang basah. Aku juga mendengar senggukan itu darinya, kita berdua terhanyut dalam kerinduan. Aku memegang pipinya dan melihat sorot matanya dalam-dalam. Kemudian merangkulnya pergi dari stasiun itu, menuju entah kemana, kami berdua berjalan melewati lorong-lorong jalan sempit yang aku sendiri tidak mengenalnya, di bawah guyuran hujan deras, di sebuah sore yang dingin dan gelap. Aku membawanya ke kamar yang tak kukenal itu dan kulihat gadis yang tak kukenal itu sudah hilang entah kemana, aku meminjamkan dara baju ganti yang kering, tentu saja yang ada hanya t-shirt ukuran laki-laki, dia mengganti pakaiannya di kamar mandi indoor kamar itu, aku mengganti pakaianku di depan lemari pakaian, kemudian aku merebahkan diri dan memandangi layar netbookku lagi, aku membaca chat message facebook dari dara, dia bilang bahwa dia tahu kalau selama setahun ini aku tidak bisa melupakannya, di juga tahu bahwa selama ini aku selalu stalking timeline twitternya, dan mungkin dia merasa inilah saatnya untuk memberiku satu kepercayaan lagi, tapi entah kenapa ketika aku membaca lagi akun yang mengirim message facebook itu bukanlah dara, melainkan teman sekampusku, kemudian semua tiba-tiba kacau, ketika aku scrolling down, semua message chat yang tertera adalah sesuatu yang lain, lucidku tidak mampu mengembalikan ke keadaan semula, kini yang terjadi hanyalah kejadian acak yang bahkan sebenarnya aku tidak ingin memasukkannya. Aku berharap lucid ini bisa mengembalikan keadaan yang terjadi dari awal, namun tidak bisa, suhu tubuhku kembali seperti semula. Musik celtic yang familiar itu menggema kembali di telingaku. Lalu semua gelap, dan aku kembali ke keadaanku yang semula, di lantai kamar kosku, tempat aku tidur siang. Aku terbangun.... hujan itu, stasiun itu, rindu itu, persatuan kembali itu, semua hanya lucid. Hanya satu yang nyata, semua itu terjadi di sore hari ini.
[surabaya, jumat 6 januari 2012, pukul 6.33 petang]

2 komentar:

  1. aku lupa belum kasih komen :D apakah ini pengalaman pribadi??hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. : " wah hwkwkwk, ada seasonings personal experience, tapi ini memang based from my lucid dream cha " :D

      Hapus

Galau

: " moving my f**ing ass right now hap hap hap " ~me

Blogroll

: " we were slave of modernization and machine civilization " ~me