Dingin, dia tak lagi berbicara padaku, tak lagi menyapaku. Sejenak ku melihat wajahnya yang damai itu, senyumnya menyiratkan sesuatu, hanya saja matanya tak tertuju padaku. "Naila,.... " bisikkan lirihku mungkin tak akan pernah terdengar olehnya. " Aku memang sangat mencintaimu, bahkan mungkin terlalu mencintaimu ". Di sisi gelap kamar Naila, aku berdiri terpaku. Di dadanya ada bekas tujuh tusukan. Di tangan kiriku, kugenggam erat pisau penuh darah.
" Dok, lakukan sekarang... ". Anestesi itu membuatku tenang dan sangat damai, bahkan aku sudah tak ingat. apa-apa lagi semenjak memasuki asilum ini, yang kuingat hanya nama yang kubaca di papan nama ranjangku " Aku Naila ".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar