“ selamat
malam, mas che ada? “ terlihat siluet seorang
perempuan yang tampak begitu familiar, aku sudah lama tidak pernah
bertemu dengannya. Yah tidak pernah lagi tepatnya setelah kita putus. Aku terdiam
terkejut sejenak “ iya masuk aja nad, ada apa, malam-malam gini datang ke kost?
“. Aku segera membuatkan cokelat panas, karena kondisi suhu di luar begitu
dingin dan hujan rintik kecil sedang bersemangat-semangatnya menetes. “ oh,
gini mas che, aku ini tadi dari dinas malam di rumah sakit deket sini,
kebetulan kalau pulang kejauhan, jadi aku mampir ke sini aja hehehe “. Wah gila,
emang ada apa di pikrannya, sebelumnya di begitu membenci aku pasca putus, tapi
sekarang dia bisa melempar tertawa kecil kepadaku. Nadia tahukah kamu sudah
setahun lebih inni aku selalu gagal untuk move on, atau lebih tepatnya diriku
tidak menginginkan untuk move on, karena semua pemberianmu saat kita masih
memadu kasih terlalu berharga untuk ditinggalkan.
Malam menuju
larut, kami mengobrolkan apa yang kami lakukan selama ini, kemudian kami
semakin mendekat. Perasaan itu muncul lagi, kupu-kupu yang seharusnya sudah
mati, tiba-tiba seperti di hidupkan kembali dan terbang menabraki dinding
perutku. Nafas ini menjadi berat, dan aliran darah berdesir cepat. Berikutnya yang
aku tahu, bibir kami sudah menyatu, dilanjutkan oleh tarian malam yang begitu
syahdu. Temperatur tubuh kami sudah naik, dan kulihat nadia sudah menanggalkan jaket
dan seragamnya, kemudian yang aku tahu dia pun sudah dalam fase yang disebut plain naked. Dengan posisi favoritmu ketika kita berasyik
masyuk di jaman indah itu, namun yang kali ini berbeda adalah keberanianmu
untuk lebih jauh dengan menanggalkan seluruh pakaianmu. Semakin syahdu kami
memadu kasih. Jiwaku sudah tidak ada di bumi lagi.
Namun tidak
lama kami mendengar suara langkah kaki. Aku mengintip keluar kamar sejenak,
ternyata ibu kost sedang melakukan sweeping, aku meminta nadia untuk segera
mengenakan pakainnya dan bersembunyi. Aku memasukkan sandal nadia yang ada di
luar kost, dan tentu saja itu yang membuat kamarku luput dari pengecekan.
Setelah Nadia
selesai mengenakan pakaiannya, aku mencari sebuah buku antologi. Di buku
antologi tersebut beberapa karya nadia terpajang bersama 35 penulis lain. “
Tunggu dulu nad, nanti kamu aku antar pulang, sebelumnya aku masih mencari
coffee shop chronicle, di situ ada tulisanmu kan, yang someone like you… aku
suka membacanya nad, aku sebenarnya ingin meminta tanda tanganmu untuk bukuku..
tapi di mana ya? “ “ nggak usah mas che, aku nggak ikut nulis kok? “ aku
terhenayak “ha?” padahal jelas-jelas namanya tercantum disana dan aku juga
sudah memata-matai beberapa akunnya, someone like you pernah di tulis di
blognya, tapi kenapa dia tidak mau mengakuinya?
Kemudian kami
berdua meninggalkan kamar, di ujung lorong kamar kost, sudah ada ibu kost
dengan memasang wajah seram berteriak-teriak. Aku dan Nadia berlari tanpa
aba-aba, meloncati portal dan menerobos warung kopi. Kemudian kami beristirahat
sejenak di salah satu warung kopi di seberang jalan. “kamu nggak laper nad?”. “
nggak mas che, kita langsung cabut aja, udah malem banget ini, keburu dini hari”.
Aku segera menghabiskan teh hangatku dan segera mengambil sepeda motor di kos. Disitu
tentu saja masih dijaga, tapi aku segera menjelaskan, ah mungkin keberuntungan
atau apa, ibu kost masih memberi kesempatan, tapi kalau lain kali terjadi lagi,
aku langsung di polisikan.
Seperti biasa
perjalanan kutempuh selama 90 menit, dari daerah suburban Surabaya menuju ke
tengah pemukiman kota sidoarjo. Namun kali ini
ada yang tidak biasa. Lingkungan rumah Nadia menjadi tidak familiar. Kali
ini aku disuruh melewati jalan kecil dengan semak hitam di sisi kiri dan kanan.
Ujungnya adalah rumah besar yang sangat gelap dan mencekam, mungkin mansion lebih tepatnya. Setelah melewati pagar luar,
Nadia memintaku untuk terus berjalan di atas motor, bahkan diminta untuk
menabarak pintu kaca depan rumah. *BRANG!!* aku menabrakkan motorku di pintu
kaca mansion itu. Anehnya diikuti dengan pecahnya seluruh bagian depan mansion
itu.
Waktu menunjukkan
pukul setengah tiga malam. Aku menjauhkan kaos hitam penutup mataku. Mengucek-ngucek
mata. “ah…. Mimpi yang indah… namun di satu sisi beitu pahit” aku terduduk diam
begitu lama di atas kasurku.
[ mono - legend ]