" Lagi - lagi kamu
seperti itu, aku muak sama kamu sayang !! " Naia mengetik keyboardnya
dengan penuh emosi, dia sedang tidak dalam mood yang baik, tidak untuk
saat ini, setelah apa yang aku lakukan. Aku sendiri bingung harus membalas dentuman
kata penuh emosi itu dengan apa. sepertinya semua alasan hanya
bagaikan lemparan buntelan kertas yang sama sekali tidak ada artinya dan
apabila kena pun, sama sekali tidak ada efek benjol. Belum aku mengetik keyboardku dia
sudah mennghujamiku lagi dengan typo
penuh amarah “ AKU NGGAK SUKA KALAU KAMU
TERUS – TERUSAN MENUNDA KELULUSANMU “ kali ini tulisan itu terasa seperti
sebuah suara teriakan yang diperdengarkan ke telingaku melalui sebuah megaphone, “ sekarang apa lagi alasanmu
? kenapa kamu malah ngebantu temenmu yang udah mulai tugas akhir itu, sedangkan
kamu sendiri sudah berapa kali kamu nge-drop skripsimu !! “ aku sama sekali tak
bergeming, jari - jari ini mengalami kesulitan untuk membalas, jangankan membalas menjawab pertanyaanya pun aku tak mampu. Naia menjadi seperti so bossy semenjak diterima melanjutkan kuliah di Harvard, sedangkan aku hanya menjadi mahasiswa biasa di sebuah universitas biasa pula di negeri sendiri saat ini memasuki semester 9, Naia satu angkatan di bawahku, dia berkuliah Diploma Degree di salah satu akademi midwifery di Surabaya, lulus dengan nilai terbaik kemudian mengambil beasiswa untuk melanjutkan Biomedical Science di Harvard. Sewaktu aku semester 8 dan dia memasuki semester akhirnya semester 6, kita sempat berjanji untuk lulus bersama - sama, namun aku tak bisa menepati janjiku. Beberapa pesan chat masuk
tapi aku sudah tidak berada di hadapan monitor LCD beresolusi 1440 x 900, aku
sekarang sudah berada dalam pelukan selimut tipis dan membenamkan wajahku ke
bantal yang sudah sangat tidak mungkin untuk membuat wajahku terbenam karena
terlalu padat dan keras, atau bisa juga kita menyebutnya tas ransel berisi penuh
buku ensiklopedi yang ditutupi sarung bantal. Aku sama sekali tidak bisa membalas
semua statement itu. Hanya diam dan kemudian terlelap. Begitulah caraku
mengakhiri malam itu.
Aku suka sekali melihat
wajahnya yang sedang memasuki fase REM dalam tidurnya, meskipun pipinya penuh
bekas lipatan kain, dan rambut sebahunya acak – acakan menutupi sebagian
wajahnya, tapi tetap saja aku suka melihatnya terlelap. Perlahan aku mendekati
sisi kanan ranjang tempatnya merebahkan tubuh, aku berlutut dan mendekatkan
wajahku. Kemudian aku membelai lembut tiap sisi wajahnya dan menyibakkan rambut
yang menutupinya. Seketika itu pula ku mengecup ringan pipinya dan mulai
memasuki alam bawah sadarnya, ya saat itu yang berada dalam kamar Naia bukanlah
tubuh kasarku. Melainkan sisi diriku yang termanifestasi dalam sebuah aeon, dan
aku sedang mencoba menjamah alam bawah sadarnya hanya untuk bertemu dengannya
sekali lagi. Karena ada suatu hal yang ingin aku utarakan padanya.
Sore itu hujan deras di sekitar Algier Café di
seputaran Harvard Square, aku duduk di kursi pojok dekat dengan pintu masuk,
memandangmu dari sisi gelapku, perlahan – lahan kamu menyeruput mint coffee mu, mint coffee yang terlalu banyak whip cream hingga sisanya menempel
di bibirmu, aku tahu kamu pasti lelah seharian menyusuri perpustakaan utama
Harvard yang besar itu untuk mencari literatur tentang Biological and Biomedical Sciences, jadi aku mendiamkanmu sejenak
menikmati soremu sambil memandang rintik hujan melalui jendela dengan stiker besar bertuliskan
Algier Café, setengah jam berlalu dan grilled
cheese pesananmu pun sudah kau lahap habis, hanya menyisakan remah – remah keju
kecil bertebaran di cheese plate mu. Mungkin
sudah saatnya aku menghampirimu dan membicarakan hal yang sudah lama ingin aku
bicarakan. “ sayang . . . “ aku
mendekati meja Naia dan duduk di hadapannya. Naia seakan tidak percaya dan
begitu terhenyak bisa melihatku disini. “ Mas, kamu kok bisa disini ? “. Aku hanya menatapnya dalam, dan menggenggam erat tangannya,
aku berbisik “ ikutlah denganku “. Seketika itu bangunan kafe itu runtuh. Seluruh
benda kaca, pecah. Orang – orang yang berlalu lalang hilang. Kemudian semuanya
menjadi gelap. Pekat dan hening. Tapi aku tahu Naia masih disitu, aku
memeluknya erat, mendekapnya sampai kita berdua menuju tempat itu. Tempat dimana
aku ingin mengutarakan hal itu, hanya di tempat itu semua rahasia kami ungkap, semua perasaan terpendam kami gali, semua kejujuran kami utarakan, dan mungkin ini adalah akhir dari segalanya,
tempat itu adalah sebuah tempat dimana hanya kami berdua saja yang tahu.
[surabaya, sabtu 3 maret 2012, pukul 6.55 petang]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar