"Selamat siang pak"
"Hehehehe ini masih pagi dek"
--
Jam menunjukkan pukul sepuluh, beberapa orang masih menganggapnya pagi, demikian juga seorang bapak yang duduk di bangku depanku ini. "Ah, perjalanan dimulai". batinku berkecamuk memikirkan perasaan cemas yang tak kunjung hilang. "Ada masalah apa Dek? kok roman-romannya sedang gelisah?" Bapak yang duduknya berhadapan denganku ini kepo mulai bertanya-tanya masalah orang lain dalam kasus ini,masalahku. "Oh, tidak ada apa-apa pak" Jawabku sambil mencoba tersenyum ramah. Roda-roda besi ini merambat dan berdetak seolah ramai padahal senyap. Alur lambat dan sepoi angin menelisik melalui jendela menambah syahdu perjalanan ini, sejenak membuatku lebih tenang. Hutan jati dan siluet Gunung Lawu nampak tersusun manis menghiasi horizon. Ketenangan ini mengantarku menuju lelap.
--
Sinar mentari menelisik selaput kelopak mataku, membuatku terjaga. Stasiun Lempuyangan telah terlewati giliran siluet Pegunungan Menoreh yang kali ini memamerkan tubuh agung dengan kokohnya. "Nuwunsewu, Bapak makan siang dulu ya dek". Bapak di depanku ini tiba-tiba sudah membuka nasi bungkusan sepertinya berisi nasi dan lauk suwiran ayam, dihiasi sambal apa adanya. "imjih,monggo Pak" sambil tersenyum kucoba ramah dengan bapak itu. "Sudah bekerja Dek?". "Belum pak". "Oh, lha ini tujuannya kemana?". "Bandung pak" interogasi bapak ini sebenarnya membuatku tidak nyaman. Penampilannya ya tipikal bapak-bapak, mengenakan baju batik bermotif mega mendung yang lusuh. bercelana kain biru dongker... oh bukan,ketika cahaya mentari mengenai celananya ternyata berwarna maroon gelap. kumisnya tebal, alis matanya tebal, bibirnya tebal, ah... rambutnya tipis. Semerbak wangi tembakau kering mengitarinya, sesekali kacamata tebalnya memantulkan cahaya mentari ke wajahku.Lama bapak itu terdiam, sesaat kemudian dia memejamkan matanya dan sesekali mengambil nafas panjang. "Perjalanan ini akan menjadi sebuah titik balik hidupmu Dek". "Ha? malsud Bapak?" aku tercengang dengan perkataan bapak itu... "Apa maksdunya Pak?" aku mengulang lagi pertanyaanku bak beo yang belum bisa mencerna keadaan dengan logis. Bapak itu hanya tersenyum tipis, atau entahlah, aku tak bisa membaca senyum dari kumis tebal itu."Oh sebentar lagi stasiun Tasikmalaya, maaf Dek,Bapak harus turun, jaga diri baik-baik ya". Sesaat sang Kahuripan berhenti di stasiun Tasikmalaya, bapak itu bergegas turun. Aku terus memandanginya penuh tanda tanya. "Apa maksud bapak itu?" Tak lama aku meneliti lagi undangan yang kupegang, sebiah kartu aneh hanya bertuliskan "Selamat Bergabung, Ibumu menunggumu".
---
"Buanaputri sudah diamankan, Regu Parahyanganm segera jemput dia di extraction point". Bapak itu mematikan kominikasi radionya, "Semoga kamu adalah jawaban atas segala keresahan kami," Hela nafas panjang mengiringi bisikan kecil "Ratriwardhani, semoga anakmu bisa meneruskan jejakmu sebagai Penjaga Trah Bahureksa Pertiwi Nusantara". terduduklah dengan pasrah ia mencabut kumis palsunya dan mulai menghirup asap kretek cengkihnya dalam-dalam. lalu menerawang langit.
--
Stasiun Tasikmalaya, 1992.
Jumat, 05 Juni 2015
Kamis, 04 Juni 2015
Terukir Nama
Beberapa hari ini Raka mengalami mimpi buruk yang sama, dia dihantui bayang-bayang kematian yang pedih, tubuhnya menjadi renta dan dia mati tersayat oleh sesuatu yang begitu raksasa, keras dan masif, bayangan itu tak berbentuk manusia hanya sebuah bayangan hitam tanpa wujud yang jelas, dan ukurannya yang menjulang besar ke langit membuatnya tak terlihat seperti makhluk apapun, bukan makhluk supernatural yang selama ini dia ketahui dari buku maupun film. Banyak orang pintar yang mengaku takut dan angkat tangan kala ditanya apa solusi dari mimpi Raka tersebut selama kurun waktu lima hari terakhir ini. "Maaf mas 'Ka itu di luar kemampuanku, sehebat apapun aku, aku hanya manusia biasa yang tak bisa menangkal apapun itu yang terus membayangi jiwamu" adalah kata seorang ahli supernatural sekaligus kerabat terdekat Raka, seorang ahli spiritual terakhir yang Raka tanyai. Mimpi-mimpi buruk itu membebani Raka di setiap tidurnya, belum hilang duka akan kematian kekasihnya Rara, diikuti wabah penyakit demam aneh yang melanda teman-temannya, kenapa masih harus ditambah dengan mimpi buruk itu berulang kali diputar dalam tidurnya.
Hingga pada suatu hari ketika ia mencoba mengenang kekasihnya dengan memandangi foto-nya di laptop miliknya dia tersadar, tepat ketika dia menghentikan untuk menekan next pada track pad. Sebuah imaji digital yang diambil sekitar tiga bulan yang lalu, mungkin kurang, terdapat fotonya didepan sebuah ukiran besar yang dia buat dengan alat seadanya di sebuah batu aneh di puncak gunung tertua di dataran Jawa. Dia mengukir namanya dan nama kekasihnya di sebuah batu besar di puncak gunung tersebut. Dengan bangga ia meminta kawan-kawannya untuk mengabadikan dirinya di depan ukiran nama tersebut. Dia terhenyak sekejap, keringat dingin mulai menetes melalui pelipisnya, tunggu dulu, itu bukan keringat, ketika dia mengusapnya... itu... Diiringi dengan suara gemuruh panjang dan gempa berskala 5 SR, sebuah rumah mewah di kawasan elit Jakarta rata dengan tanah dan diantara puing-puing tersebut seperti ada yang menulis diatas pasir pantai dengan jari, terbaca Mahameru.
- terinspirasi dari lagu berjudul Batu Tua - Tiga Pagi.
Hingga pada suatu hari ketika ia mencoba mengenang kekasihnya dengan memandangi foto-nya di laptop miliknya dia tersadar, tepat ketika dia menghentikan untuk menekan next pada track pad. Sebuah imaji digital yang diambil sekitar tiga bulan yang lalu, mungkin kurang, terdapat fotonya didepan sebuah ukiran besar yang dia buat dengan alat seadanya di sebuah batu aneh di puncak gunung tertua di dataran Jawa. Dia mengukir namanya dan nama kekasihnya di sebuah batu besar di puncak gunung tersebut. Dengan bangga ia meminta kawan-kawannya untuk mengabadikan dirinya di depan ukiran nama tersebut. Dia terhenyak sekejap, keringat dingin mulai menetes melalui pelipisnya, tunggu dulu, itu bukan keringat, ketika dia mengusapnya... itu... Diiringi dengan suara gemuruh panjang dan gempa berskala 5 SR, sebuah rumah mewah di kawasan elit Jakarta rata dengan tanah dan diantara puing-puing tersebut seperti ada yang menulis diatas pasir pantai dengan jari, terbaca Mahameru.
- terinspirasi dari lagu berjudul Batu Tua - Tiga Pagi.
Label:
Batu,
cerpen,
flash fiction,
Gunung,
Nulisbuku,
NulisRandom2015,
Tua
Langganan:
Postingan (Atom)
Galau
: " moving my f**ing ass right now hap hap hap " ~me
Blogroll
: " we were slave of modernization and machine civilization " ~me